- Latar Belakang
Manusia berkepentingan untuk merasa bahwa ia
aman. Aman berarti bahwa kepentingan-kepentingannya tidak diganggu. Oleh karena
itu manusia selalu berharap bahwa bahwa kepentingan-kepentingannya dilindungi
dari konflik, gangguan-gangguan dan bahaya yang mengancam serta menyerang
kepentingan dirinya dan kehidupan bersama. Gangguan dan konflik harus dicegah
dan tidak dibiarkan berlangsung terus, karena akan merusak kesimbangan tatanan
masyarakat. Jadi manusia di dalam masyarakat memerlukan perlindungan
kepentingan. Perlindungan kepentingan itu akan tercapai jika tercipta pedoman
atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia seharusnya hidup dalam
masyarakat agar tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Pedoman,
patokan atau ukuran untuk bertingkah laku atau bersikap dalam kehidupan bersama
itu disebut dengan norma atau kaidah sosial . Kaidah sosial pada hakekatnya
merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang
seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau atau
yang dianjurkan untuk dijalankan.
Berkaitan
dengan kaidah hukum dapat dijelaskan bahwa kaidah hukum ditujukan terutama
kepada pelakunya yang konkrit, yaitu pelaku pelanggaran yang nyata-nyata
berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia melainkan untuk agar masyarakat
tertib, agar jangan sampai jatuh korban kejahatan atau agar tidak terjadi
kejahatan. Isi kaidah hukum ditujukan kepada sikap lahir manusia. Jadi kaidah
hukum mengutamakan perbuatan lahir manusia. Hal ini berarti apa yang ada dalam
batin manusia dan difikirkan oleh manusia tidak menjadi masalah asalkan secara
lahir dia tidak melanggar hukum.
Hukum
berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Jadi agar kepentingan
manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat
berlangsung secara normal dan damai tapi dapat terjadi juga pelanggaran hukum.
Dalam kasus pelanggaran hukum inilah maka hukum harus ditegakkan. Melalui
penegakkan hukum inilah, hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum, terdapat
tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit),
kemanfaatan (zweckmassigkeit)dan keadilan (gerechtigkeit) . Kepastian hukum
merupakan perlindungann yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang.
Masyarakat mengharapkan kepastian hukum agar masyarakat menjadi aman dan
tertib. Masyarakat pun mengharapkan manfaat atau kegunaan dari penegakkan
hukum, jangan sampai justru karena penegakkan hukum tersebut kemudian
menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Keadilan dalam penegakkan hukum juga
merupakan harapan dari masyarakat. Keadilan bersifat subyektif, individualistis
dan tidak menyamaratakan. Dengan demikian penegakkan hukum yang memperhatikan
keadilan berarti pula memperhatikan faktor-faktor subyektif yang terlibat dalam
kasus hukum. Dalam menegakkan hukum, ketiga unsur itu harus diperhatikan secara
proporsional dan penuh kompromi.
Pembahasan
tentang hukum cenderung dikaitkan dengan perundang-undangan. Undan-undang
sendiri tidak sempurna. Hal ini disebabkan tidak mungkin undang-undang mengatur
seluruh kegiatan manusia secara tuntas. Adakalanya undang-undang tidak jelas
dan adakalanya tidak lengkap. Meskipun tidak lengkap dan tidak jelas,
undang-undang tersebut tetap harus dilaksanakan. Hakim tidak dapat dan tidak
boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena
hukumannya tidak lengkap dan tidak jelas. Ia dilarang menolak menjatuhkan
putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang atau tidak adanya hukum.
Jika
dalam perkara tertentu tidak lengkap atau tidak jelas dalam undang-undang maka
hakim harus mencari hukumnya atau menemukan hukumnya. Ia harus melakukan
penemuan hukum (rechtsvinding). Penegakkan dan pelaksanaan hukum sering
merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum. Karena itu usaha
penemuan hukum ini merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan hakim
dalam memutuskan perkara.
Penemuan hukum (rechtsvinding) ini menjadi pokok bahasan yang lebih menarik karena dinamikanya dalam merujuk pada undang-undang dan kasus-kasus serupa yang pernah diputuskan perkaranya. Makalah ini akan membahas bagaimana metode penemuan hukum dalam perkembangan hukum nasional.
Penemuan hukum (rechtsvinding) ini menjadi pokok bahasan yang lebih menarik karena dinamikanya dalam merujuk pada undang-undang dan kasus-kasus serupa yang pernah diputuskan perkaranya. Makalah ini akan membahas bagaimana metode penemuan hukum dalam perkembangan hukum nasional.
- Pembahasan
1.
Proses Penemuan Hukum
Indonesia
dalam perspektif keluarga-keluarga sistem hukum di dunia, termasuk salah satu
dari keluarga hukum Eropa Kontinental (civil law)yang sering diperlawankan
dengan hukum common law. Kedua sistem hukum ini merupakan dua sistem hukum
utama yang banyak diterapkan di dunia. Sistem Eropa Kontinental ini
mengutamakan hukum tertulis dan terkodifikasi sebagai sendi utama dari sistem
hukum Eropa Kontinental.
Sistem hukum civil law muncul pada abad ke 13M dan sejak saat itu mengalami perkembangan dan perubahan atau dengan istilah lain menjalani suatu evolusi. Evolusi dalam hukum civil law ini pada dasarnya merupakan proses penyempurnaan demi untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Evolusi dalam hukum civil law ini sangat terkait erat dengan perubahan masyarakat internasional, khususnya tentang hubungan antar negara yang lebih seimbang. Beberapa ciri penting yang menandai perkembangan sistem hukum civil law adalah:
Sistem hukum civil law muncul pada abad ke 13M dan sejak saat itu mengalami perkembangan dan perubahan atau dengan istilah lain menjalani suatu evolusi. Evolusi dalam hukum civil law ini pada dasarnya merupakan proses penyempurnaan demi untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Evolusi dalam hukum civil law ini sangat terkait erat dengan perubahan masyarakat internasional, khususnya tentang hubungan antar negara yang lebih seimbang. Beberapa ciri penting yang menandai perkembangan sistem hukum civil law adalah:
1.
Bangkitnya kesadaran masyarakat bangsa-bangsa
akan makna kemerdekaan, kesederajatan dan kerja sama antar bangsa. Ciri ini
ditandai oleh makna gerakan kemerdekaan untuk melepaskan diri dari penguasaan
kolonialisme. Pada tahun 1945 masyarakat internasional telah menjadi suatu
komunitas bangsa-bangsa yang merdeka. Ketika itu PBB beranggotakan 51 negara
yang pada tahun 1992 berkembang menjadi 166 negara.
2.
Berubahnya orientasi masyarakat
internasional dari perluasan oleh negara-negara kolonial pada pra perang dunia
II ke arah kerjasama, pembangunan kesejahteraan dan pembagunan ekonomi global.
Perkembangan ini ditandai pula oleh meluasnya partisipan kegiatan ekonomi ke
kawasan Asia Afrika dan Asia Pasifik, yang sebelum perang dunia II lebih
terpusat di kawasan Eropa Barat dan Amerika Utara . Selain perkembangan
masyarakat internasional, perubahan di tingkat regional atau nasional pun turut
berpengaruh terhadap perubahan sistem hukum suatu negara. Sejak Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya sebagai suatu bangsa yang merdeka, para pendiri bangsa ketika
itu telah memilih dan sepakat menentukan bahwa hukumlah yang dapat dijadikan
pijakan dan landasan hidup berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan cita-cita
kemerdekaan. Sistem hukum yang dipergunakan di Indonesia adalah sistem hukum
civil law yaitu sistem hukum yang terkodifikasi dan tertulis. Dipergunakannya
sistem hukum civil law di Indonesia juga dipengaruhi oleh penjajahan yang
dilakukan oleh Belanda selama 350 tahun melalui kebijakan bewuste
rechtspolitiek yang kemudian pasca kemerdekaan tata hukum tersebut diresepsi
menjadi tata hukum nasional Indonesia melalui aturan peralihan UUD 1945 Pasal II
(Pra amandemen) yang menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada
masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini”. Dengan demikian keberadaan lembaga dan aturan-aturan yang di bawa Belanda
yang menganut sistem civil law ikut serta di adopsi ke dalam tata hukum Negara
Republik Indonesia.
Salah satu karakteristik utama civil law ini adalah penggunaan aturan-aturan yang tertulis dan terbukukan (kodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Pemikiran kodifikasi ini dipengaruhi oleh konsepsi hukum abad ke 18-19 yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan demi kepastian hukum, kaidah-kaidah hukum itu harus tertulis dalam bentuk undang-undang. Adapun bentuk undang-undang tersebut harus bersifat umum (algemeen) baik mengenai waktu, tempat ataupun obyeknya. Kemudian undang-undang tersebut harus lengkap, tersusun dalam suatu kodifikasi. Berdasarkan pandangan ini, pemerintah dan hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang menerapkan undang-undang (secara mekanis).
Berbeda dengan sistem Eropa Kontinental, sistem anglo saxon yang biaa disebut dengan sistem common law merupakan sistem hukum yang menjadikan yurisprudensi sebagai sendi utama di dalam sistem hukumnya. Yurisprudensi merupakan keputusan-keputusan hakim mengenai suatu perkara konkrit yang kemudian putusan tersebutmenciptakan kaidah dan asas-asas hukum yang kemudian mengikat bagi para hakim-hakim berikutnya yang memutus suatu perkara yang memiliki karakteristik yang sama dengan perkara sebelumnya. Sistem hukum common law ini menyebar dari daratan Inggris dan daerah-daerah persemakmuran (eks jajahan Inggria), Amerika Serikat, Canada dan Australia. Pada perkembangan selanjutnya kedua sistem hukum ini mengalami konvergensi (saling mendekati) yang ditandai dengan beperan pentingnya undang-undang dalam sistem hukum common law dan peranan yang signifikan darI yurisprudence dalam sistem hukum civil law.Peraturan dalam bentuk perundangan-undangan yang terkodifikasi memiliki peranan yang semakin penting dikarenakan faktor-faktor sebagai berikut:
Salah satu karakteristik utama civil law ini adalah penggunaan aturan-aturan yang tertulis dan terbukukan (kodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Pemikiran kodifikasi ini dipengaruhi oleh konsepsi hukum abad ke 18-19 yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan demi kepastian hukum, kaidah-kaidah hukum itu harus tertulis dalam bentuk undang-undang. Adapun bentuk undang-undang tersebut harus bersifat umum (algemeen) baik mengenai waktu, tempat ataupun obyeknya. Kemudian undang-undang tersebut harus lengkap, tersusun dalam suatu kodifikasi. Berdasarkan pandangan ini, pemerintah dan hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang menerapkan undang-undang (secara mekanis).
Berbeda dengan sistem Eropa Kontinental, sistem anglo saxon yang biaa disebut dengan sistem common law merupakan sistem hukum yang menjadikan yurisprudensi sebagai sendi utama di dalam sistem hukumnya. Yurisprudensi merupakan keputusan-keputusan hakim mengenai suatu perkara konkrit yang kemudian putusan tersebutmenciptakan kaidah dan asas-asas hukum yang kemudian mengikat bagi para hakim-hakim berikutnya yang memutus suatu perkara yang memiliki karakteristik yang sama dengan perkara sebelumnya. Sistem hukum common law ini menyebar dari daratan Inggris dan daerah-daerah persemakmuran (eks jajahan Inggria), Amerika Serikat, Canada dan Australia. Pada perkembangan selanjutnya kedua sistem hukum ini mengalami konvergensi (saling mendekati) yang ditandai dengan beperan pentingnya undang-undang dalam sistem hukum common law dan peranan yang signifikan darI yurisprudence dalam sistem hukum civil law.Peraturan dalam bentuk perundangan-undangan yang terkodifikasi memiliki peranan yang semakin penting dikarenakan faktor-faktor sebagai berikut:
·
Peraturan perundang-undangan merupakan
kaidah hukum yang lebih mudah dikenali, mudah diketemukan kembali dan mudah
ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis maka kaidah hukum lebih jelas bentuk,
jenis, tempat dan pembuat hukumnya.
·
Peraturan perundang-undangan memberikan
kepastian hukum yang yang lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah
diidentifikasi dan ditemukan kembali.
3.
Struktur dan sistematika peraturan
perundang-undangan lebih jelas sehingga memungkinkan untuk diperiksa kembali
dan diuji baik dari segi formal maupun muatan materinya.
4.
Pembentukan dan pengembangan peraturan
perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi
negara-negara yang sedang membangun, termasuk sistem hukum baru yang sesuai dengan
kebutuhan dan perkembanganmasyarakat.
Peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi ini memiliki kelemahan-kelemahan antara lain:
Peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi ini memiliki kelemahan-kelemahan antara lain:
·
Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel.
Tidak mudah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan
masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tata
cara tertentu. Sementara itu masyarakat berkembang terus dengan cepat.
Akibatnya akan terjadi jurang antara perundang-undangan dengan perkembangan
masyarakat. Dalam keadaan demikian masyarakat akan menumbuhkan hukum sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Bagi masyarakat yang tidak mampu menumbuhkan hukum
sendiri akan terpaksa menerima peraturan perundang-undangan yang sudah
ketinggalan. Penerapan peraturan perundang-undangan yang ketinggalan tersebut
mungkin akan dirasakan sebagai ketidakadilan dan dapat menjadi hambatan bagi
perkembangan masyarakat.
·
Peraturan perundang-undangan tidak pernah
lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan
menimbulkan apa yang lazim disebut dengan kekosongan hukum (rechtsvacuum).
Untuk menghindari kekosongan hukum maka ditetapkanlah keonsep penemuan hukum
oleh hakim. Kekosongan hukum akan sangat mungkin terjadi dan akan menimbulkan
kebangkrutan keadilan (banckrupty of justice) yaitu suatu kondisi simana hukum
tidak dapat memfungsikan dirinya di tengah-tengah masyarakat. Karena itu
kekosongan hukum sedapat mungkin dihindari. Dalam hal terjadinya pelanggaran
undang-undang, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan
undang-undang. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak
menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang. Jika
undang-undang yang mengatur peristiwa konkrit tidak lengkap ataupun tidak
jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (hakim) harus mencari, menggali dan
mengkajihukumnya. Hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan
penemuan hukum (rechtvinding).
Problematika yang berhubungan dengan penemuan hukum ini memang opada umumnya dipusatkan sekitar hakim, kakrena dalam kesehariannya hakim senantiasa dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikan. Hasil penemuan hukum oleh hakim tersebut merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Selain itu hasil penemuan hukum oleh hakim juga merupakan sumber hukum. Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim aau oleh petugas-petugas hukum yang diberi tugas melaksanakan hukumterhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi sehingga diperlukannya suatu analisis terhadap prosedur penemuan hukum oleh hakim yaitu:
Problematika yang berhubungan dengan penemuan hukum ini memang opada umumnya dipusatkan sekitar hakim, kakrena dalam kesehariannya hakim senantiasa dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikan. Hasil penemuan hukum oleh hakim tersebut merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Selain itu hasil penemuan hukum oleh hakim juga merupakan sumber hukum. Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim aau oleh petugas-petugas hukum yang diberi tugas melaksanakan hukumterhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi sehingga diperlukannya suatu analisis terhadap prosedur penemuan hukum oleh hakim yaitu:
·
Kegiatan manusia sangat luas dan beragam
sehingga tidak mungkin semuanya tercakup dalam satu perundang-undangan tertulis
yang tuntas dan jelas. Dengan demikian tidak ada peraturan perundang-undangan
yang lengkap selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya. Karena hukum yang tidak
lengkap dan tidak jelas tersebut, maka harus dicari dan ditemukan.
·
Perhatian dan kesadaran akan sifat dan
tugas peradilan telah berlangsung lama. Ajaran penemuan hukum, ajaran
penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad ke 19 dikenal dengan
hermeneutic yuridis (hermeneutika)
·
Munculnya suatu gejala umum yaitu kurangnya
serta menipisnya rasa kepercayaan sebagian besar masyarakatterhadap proses
penegakan hukum.
·
Dari penyelesaian perkara (kasus) yang
ada, tidak jarang hakim selaku penegak hukum menjatuhkan vonis dengan melukai
rasa keadilan masyarakat karena terlalu kaku dalam melihat suatu peraturan.
Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa penemuan hukum adalah kegiatan atau usaha menemukan hukumnya karena hukumnya tidak lengkap dan tidak lengkap. Pada umumnya penemuan hukum diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum . Adapun penemuan hukum meliputi proses perumusan masalah, pemecahan maslah hukum dan pengambilan keputusan. Kemudian dalam menemukan hukum ada ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dikuasai yaitu:
Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa penemuan hukum adalah kegiatan atau usaha menemukan hukumnya karena hukumnya tidak lengkap dan tidak lengkap. Pada umumnya penemuan hukum diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum . Adapun penemuan hukum meliputi proses perumusan masalah, pemecahan maslah hukum dan pengambilan keputusan. Kemudian dalam menemukan hukum ada ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dikuasai yaitu:
a.
Adanya tata urutan dalam sumber
(penemuan) hukum (hierarkhi).
b.
Sistem
hukum.
c.
Metode penemuan hukum.
Sumber (penemuan hukum) mengenal tata aturan (hierarki). Sumber penemuan hukum itu adalah peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internaional dan doktrin. Undang-undang atau didahulkan dari sumber hukum lainnya. Misalnya jika hendak mencari sebuah istilah hukum maka harus terlebih dahulu merujuk pada undang-undang. Jika tidak ditemukan dalam undang-undang maka dicari dalam hukum kebiasaan kemudian dalam yurisprudensi dan seterusnya.
Hukum
merupakan suatu sistem yaitu suatu kesatuan yang tidak menghendaki adanya
konflik di dalamnya. Karena itu dalam menemukan hukum, ciri-ciri sistem hukum
harus diketahui. Sistem hukum memiliki klasifikasi dan konsisten (secara ajeg
mengatasi konflik yang terjadi) serta memilikikonsep-konsep yang fundamental.
Faktor-faktir dalam sistem hukum ini harus diperhatikan dalam menemukan hukum.
Untuk
menemukan hukum ada cara atau metodenya. Metode penemuan hukum itu adalah
penafsiran (interpretasi), metode argumantasi dan metode eksposisi atau
konstruksi hukum. Bagaimanakah prosedur penemuan hukum itu? Prosedur penemuan
hukum itu meliputi jawab menjawab yang tujuannya agar hakim mengatahui
peristiwa konkrit apa yan sekiranya menjadi sengketa antara kedua belah pihak.
Jika oleh hakim sudah diketahui peristiwa konkretnya, maka peristiwa atau
sengketa itu dibuktikan agar hakim dapat mengkonstatasi kebenaran peristiwa atau
konkret atau sengketa tersebut. Hakim tidak akan mengkontatasi peristiwa jika
tidak ada pembuktian lebih dahulu. Setelah peristiwanya dirumuskan atau
dikontatasi maka peristiwa konkret itu diterjemahkan dalam bahasa hukum agar
(peraturan) atau hukumnya dapat diterapkan. Sebab (peraturan) hukumnya tidak
dapat diterapkan secara langsungterhadap peritiwa konkretnya. Jadi peristiwa
yang telah dikontatasi tersebut kemudian harus dikonversi menjadi peristiwa
hukum, kemudian barulah hukumnya dapat diterapkan dan diambillah keputusan.
Penemuan hukum merupakan rangkaian kegiatan sehingga pada hakekatnya penemuan
hukum itu dimulai sejak jawab menjawab. Akan tetapi momentum dimulainya
penemuan hukum adalah saat membuktikan dan kualifikasi peristiwa konkretnya.
Metode
Penemuan Hukum Dalam Perkembangan Hukum Nasional
Di Indonesia, landasan yuridis bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum terdapat pada pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara yanag diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, mlainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang kepadanya untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung jawabpenuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan landasa yuridis bagi hakim untuk menggali penemuan hukum dan penciptaan hukum sebagai suatu kewajibannya adalah sebagaimana termaktub dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang bunyinya: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat” Jo Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang bunyinya: “Haki wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Di Indonesia, landasan yuridis bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum terdapat pada pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara yanag diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, mlainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang kepadanya untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung jawabpenuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan landasa yuridis bagi hakim untuk menggali penemuan hukum dan penciptaan hukum sebagai suatu kewajibannya adalah sebagaimana termaktub dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang bunyinya: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat” Jo Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang bunyinya: “Haki wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Landasan
yuridis yang memberi wewenang pada hakim dalam melakukan penemuan hukum,
mengandung pengertian bahwa hukum harus bisa memecahkan suatu persoalan dari
suatu realitas baru masyarakat, sehingga jika tidak akan menyebabkan bankrupty
of justice yaitu suatu konsep yang mengacu pada kondisi dimana hukum tidak
dapat menyelesaikan suatu perkara akibat ketiadaan aturan hukum yang
mengaturnya. Untuk menyelesaikan persoalan ini maka diberikanlah wewenang
kepada hakim untuk mampu mengembangkan hukum atau menemukan hukum
(rechtsvinding). Hakim pada prinsipnya merupakan corong dari undang-undang,
dimana peranan dari kekuasaan kehakiman hanya sebagai penerap undang-undang
(rule adjudication function) yang bukan merupakan pembuat undang-undang (rule
making function). Mengingat pada fungsi sebenarnya dari hakim ini maka
diperlukan batasan-batasan mengenai penemuan hukum oleh hakim dengan
menggunakan konstruksi hukum yang terdiri dari kontruksi analogi, konstruksi
penghalusan hukum dan konstruksi argumentatum a contrario . Akhirnya diperlukan
peranan hakim yang lebih besar dari pada sekedar corong undang-undang, terutama
dalam rangka mengisi kekosongan hukum dengan memiliki kewenangan untuk
melakukan penafsiran, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum dan
lain-lain. Hal ini kemudian yang seing istilahkan judge of law atau penemuan
hukum (rechtsvinding). Seperti telah dijelaskan bahwa konsep penemuan hukum di
Indonesia diakomodir didalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun
2004 dimana dalam pasal 16 ayat (1), dinyatakan sebagai berikut: “Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memerikasa dan memutuskan suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”. Pada pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tersebut sangat jelas hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara
atas dasar ketiadaandasar hukum. Dalam konteks hukum Indonesia, kebangkrutan
hukum tidak diperbolehkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang
sebelumnya ada pada pasa 14 ayat (1) undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
pokok-pokok kekuasaan kehakiman, yang oleh Mochtar Kusuma Atmaja disebut juga
dengan asas non liquit yang merupakan cerminan dari Pasal 22 Algemene Bepalingen
(AB) pada masa Belanda . Persoalan yang muncul kemudian adalah megenai apakah
hakim dalam konteks penemuan hukummemiliki kesamaan pengertian dengan konsep
membuat hukum (judge made law) seperti dalam sistem hukum common law.
Pengertian judge made law dalam pengertian hukum common law ialah bahwa hakim
memiliki peranan dalam membentuk suatu norma hukum yang mengikat yang
didasarkan pada kasus-kasus konkret. Sehingga hukum di dalam pengertian ini
benar-benar membentuk suatu norma hukum baru. Untuk mencapai kepastian hukum
maka dikembangkanlah sistem precedent, dimana hakim terikat dengan keputusan
hakim terdahulu menyangkut suatu perkara yang identik. Apabila dalam suatu
perkara hakim dalam menerapka precedent justru akan melahirkan ketidakadilan
maka hakim harus menemukan unsur perbedaannya. Dengan demikian ia bebas membuat
putusan baru yang menyimpang dari putusan lama.
Dalam
sistem hukum Eropa Kontinental khususnya Belanda, penemuan hukumdidasrkan pada
ajaran menemukan hukum dengan bebas (vrije rechtsvinding). Vrije rechtvinding
terbagi menjadi tiga ajaran menyangkut dimanakah hukum bebas tersebut dapat
ditemukan. Ajaran pertama dimotori oleh Hamaker yang menyatakan bahwa hukum
bebas dapat ditemukan dengan menggalinya dari adat-istiadaat masyarakat, karena
itu ajaran ini disebut dengan ajaran aliran sosiologi. Ajaran kedua menyatakan
bahwa hukum dapat ditemukan di dalam ketentuan-ketentuan kodrati yang sudah ada
unatuk manusia. Ketentuan kodrati ini tertuang dalam kitab-kitab suci dan
perenungan-perenungan kefilsafatan tentang keadilan danmoralitas, karena itu
hukum ini disebut dengan hukum kodrat. Ajaran yang ketiga ialah aliran
rechter-koningschap yaitu ajaran yang menghendaki hakim dalam menemukan hukum,
tidak hanya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada namun
lebih dari itu, hakim di dalam menemukan hukum harus juga dalam konteks
mengoreksi dan jika perlu membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut dan
menemukan hukum baru. Dalam
konteks hukum positif di Indionesia, dalam hal kewenangan hakim dalam menemukan
hukum seperti yang dimaksud paa Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004, tentang kekuasaan kehakiman juga harus ditafsirkan secara sistematis
dengan pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang
berbunyi sebagai berikut:
- . Hakim wajib menggali dan mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
- Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Dari kedua ayat tersebut di atas dalam pasal tersebut, dengan jelas dinyatakan bahwa hakim menggali, mengikuti dan memahami rasa keadilan masyarakat dan dalam menetapkan hukum kasus pidana hendaknya memperhatikan karakteristik terdakwa. Dengan demikian, Indonesia memang menganut ajaran penemuan hukum bebas (vrije rechtsvinding). Menyangkut penemuan hukum bebas ini hakim masih terikat oleh peraturan perundang-undangan, sehingga hukum bebas ini diposisikan sebagai tambahan dari aturan perundang-undangan. Hakim tidak dapat menyimpang dari aturan perundang-undangan tetapi hakim dapat mengkontekskan aturan hukum yang sesuai dengan rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat yang merupakan ajaran penemuan hukum bebas yang beraliran sosiologis. Namun tidak sebatas itu, rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat juga dapat ditafsirkan di dalam dinamika sosial kemasyarakatn, dimana aspek tuntutan dan tekanan masyarakat mengenai mana yang adil dan tidak adil menjadi aspek yang tidak dapat diabaikan dalam memutuskan perkara. Beberapa contoh penemuan hukum yang menjadi presedent di dalam hukum Indonesia diantaranya adalah:
1)
Kasus Sengkon dan Karta yang menumbuhkan
kembali lembaga herzeiningi (penijauan kembali.
2)
Penafsiran secar meluas (ekstensif) di
dalam definisi mengenai barang dalam pasal 378 oleh Bintan Siregar.
3)
Pada zaman kolonial dengan beberapa
brenchmark cases, seperti mendefinikan ulang unsur-unsur perbuatan melawan
hukum melalui kasus pipa ledeng atau mendefinisikan secara luas (ekstensif) pengertian
barang dalam delik pencurian, yang mengkualifikasikan listrik sebagai barang
pada H.R. 23 Mei 1921, N.J. 1921, 564.
4)
Dalam konteks hukum nasional ialah
putusan yang mengizinkan perubahan status jenis kelamin pasca operasi
sebagaimana diputus oleh Pengadilan Jakarta Selatan dan Barat Nomor 546/73.P
tanggal 14 November 1973 dengan pemohon Iwan Robianto Iskandar.
5)
Mahkamah Agung mengklaim telah melakukan
penemuan hukum tatkala memutus perkara sengketa Pilkada Sulsel. Hal ini
dilakukan demi memperoleh kebenaran materiaal/ substansial yang tidak mungkin
diperoleh jika hanya mengikuti peraturan formal. Namun banyak pihak menyatakan
bahwa Mahkamah Agung (MA) telah melampaui wewenang dan sama sekali tidak
mempertimbangkan peraturan perundang-undangan pilkada seperti UU No. 32 Tahun
2004 dan peraturan pelaksanaannya.
Penemusn
hukum secara operaional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran,
yang menggunakan asa-asas logika. Namun demikian penafsiran tidak melulu
menggunakan asas-asas logika. Terdapat aspek-aspek lain yang juga menentukan
keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke dalam suatu perkara, yaitu
faktor-faktor non logikal dan non yuridis yang dapat menghaluskan hukum
(rechtstvervijning), sehingga hukum tidak menjadi keras bagi kelompok-kelompok
tertentu. Misalnya seseorang yang mencuri karena didesak oleh kebutuhan ekonomi
tentu berbeda hukumannya dengan orang yang mencuri karena ketamakan. Dalam
konteks ini adagium lex dura, sed temen scripta (hukum adalah keras, tetapi
memang demikian bunyinya) menjadi tidak relevan lagi.
Dalam konteks perkembangan hukum nasional, transformasi dari era orde baru kepada era reformasi, menjadi momentum yang cukup penting dalam dunia hukum. Pada prinsipnya, kerangka utama strategi politik mengenai pembangunan hukum nasional selama tiga dasa warsa yang lalu memiliki konsep dasar yang sama yaitu UUD 1945, memiliki landasan ideal yang tidak berubah yaitu Pancasila dan memiliki landasan operasional yang sama yaitu tujuan nasionalyang tercantum dalam pembukaan UUD 45 dengan tetap struktur kelembagaan pemerintah yang memakai sistem pemerintahan presidensil. Faktor domestik maupun hubungan dengan luar secara regional maupun global juga terdapat dalam setiap rumusan public policy dalam setiap GBHN yang ditetapkan oleh MPR dari tahun 1973 hingga 1999. Peraturan perundang-undangan pun tetap menyusul untuk menindaklanjuti kebijakan politis dalam GBHN. Namun terlepas UUD 45 yang menurut teks dan jiwanya disemangati oleh asas keadilan sosial dan keberpihakan kepada konsep sebesarpbesarnya kemakmuran rakyat, tidak selalu demikian pada garis politik dan perundang-undangan yang menyudul dibawahnya . GBHN yang dihasilkan pada Maret 1998 dan 1999 mengundang pandangan berbagai pihak mengenai konsistensi dan akomadatif serta aspiratif isi GBHN tersebut. Masyarakat menilai presiden Soeharto selalu top administrator dan top management dan tidak konsisten menjabarkan pesan-pesan politik dalam GBHN. Bahkan melakukakn manipulasi kebijakan melalui penerbitan Keputusan-Keputusan Presiden yang tidak sesuai dengan paradigma keadilan sosial yang diamanatkan Pancasila dan UUD 45 dan GBHN . Jika dikaji ulang surut kepada kebijakan masa lampau dan dikaitkan dengan tuntutan reformasi masa kini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa inti tuntutan itu ialah agar paradigma atau kriteria sistem manajemen kehidupan nasional diluruskan kembali secara menyeluruh dengan memprioritaskan paradigma kebijakan dan tindakan di bidang politik, ekonomi dan penegakan hukum.
Dalam konteks perkembangan hukum nasional, transformasi dari era orde baru kepada era reformasi, menjadi momentum yang cukup penting dalam dunia hukum. Pada prinsipnya, kerangka utama strategi politik mengenai pembangunan hukum nasional selama tiga dasa warsa yang lalu memiliki konsep dasar yang sama yaitu UUD 1945, memiliki landasan ideal yang tidak berubah yaitu Pancasila dan memiliki landasan operasional yang sama yaitu tujuan nasionalyang tercantum dalam pembukaan UUD 45 dengan tetap struktur kelembagaan pemerintah yang memakai sistem pemerintahan presidensil. Faktor domestik maupun hubungan dengan luar secara regional maupun global juga terdapat dalam setiap rumusan public policy dalam setiap GBHN yang ditetapkan oleh MPR dari tahun 1973 hingga 1999. Peraturan perundang-undangan pun tetap menyusul untuk menindaklanjuti kebijakan politis dalam GBHN. Namun terlepas UUD 45 yang menurut teks dan jiwanya disemangati oleh asas keadilan sosial dan keberpihakan kepada konsep sebesarpbesarnya kemakmuran rakyat, tidak selalu demikian pada garis politik dan perundang-undangan yang menyudul dibawahnya . GBHN yang dihasilkan pada Maret 1998 dan 1999 mengundang pandangan berbagai pihak mengenai konsistensi dan akomadatif serta aspiratif isi GBHN tersebut. Masyarakat menilai presiden Soeharto selalu top administrator dan top management dan tidak konsisten menjabarkan pesan-pesan politik dalam GBHN. Bahkan melakukakn manipulasi kebijakan melalui penerbitan Keputusan-Keputusan Presiden yang tidak sesuai dengan paradigma keadilan sosial yang diamanatkan Pancasila dan UUD 45 dan GBHN . Jika dikaji ulang surut kepada kebijakan masa lampau dan dikaitkan dengan tuntutan reformasi masa kini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa inti tuntutan itu ialah agar paradigma atau kriteria sistem manajemen kehidupan nasional diluruskan kembali secara menyeluruh dengan memprioritaskan paradigma kebijakan dan tindakan di bidang politik, ekonomi dan penegakan hukum.
Era
reformasi lahir setelah runtuhnya rezim orde baru pada Mei 1998. Pada masa
–masa akhir pemerintahan orde baru, masyarakat merasakan adanya sesuatu yang
kurang pada tempatnya dan bahkan menjurus kepada kezaliman seperti pengebirian
terhadap kebebasan dan kediktatoran dalam kekuasaan . Dalam kondisi seperti
itulah maka muncullah reformasi dalam suatu kegiatan berupa tuntutan-tuntutan
perubahan dan perbaikan. Tuntutan pembaharuan itu baukan hanya pada bidang
sosial, politik, budaya dan ekonomi tetapi juga termasuk reformasi hukum.
Sistem
hukum Indonesia yang menganut sistem hukum civil law dimana peraturan
perundang-undangan terkumpul dalam suatu peraturan tertulis dalam bentuk
kodofokasi hukum, sudah barang tentu tidak dapat menampung aspirasi yang
berjalan sinkron dengan perubahan dari orde baru ke era reformasi. Terlebih
lagi bahwa di era reformasi ini perubahan berjalan sangat cepat sehingga
bagaimanapun Undang-Undang berkerja demikian cepat untuk merespon perubahan,
persoalan yang timbul dalam masyarkat ternyata berjalan lebih cepat lagi. Oleh
karena itu sering terjadi dalam masyarkat suatu persoalan yang belum ada aturan
hukumnya sehingga terjadi kekosongan hukum . Untuk menghindari kekosongan hukum
inilah maka di era reformasi ini para hakim kemungkinan harus melakukan lebih
banyak kreasinya dalam menemukan hukum, sehingga hukum dapat berfungsi sebagai
pengawal perubahan dan sebagai alat rekayasa sosial.
Dalam
Kesimpulan Dan Rekomendasi Seminar dan Temu Hukum Nasional IX Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Tahun 2008 diantaranya
tertulis :
·
Perencanaan pembangunan hukum dalam era
demokrasi juga harus memperhatikan menguatnya masyarakat yang selalu bergerak
dinamis dan tidak dapat diperlakukan semena-mena. Adanya kemajuan sains yang
semakin mencerahkan rakyatmengharuskan pembangunan hukum menjadi lebih cerdas
karena masyarakat tidaklah bodoh melainkan penuh kearifan lokal yang muncul
sebagai produk yang dirumuskan oleh elit-cendekia masyarakat. Oleh karena itu
dalam merencanakan hukum, sistem-sistem hukum modern dari bangsa lain bisa
menjadi bahan perbandingan namun konsep dan kearifan lokal yang telah dimiliki
harus lebih diberdayakan.
·
Penegakan hukum sebagai subsistem hukum
nasional harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip negara hukum dan
dilaksanakan secara konsisten dan independen. Namun demikian dalam prakteknya
penegakan hukum dewasa ini tidak sepenuhnya bebas (independen) dari intervesi
institusi atau lembaga-lembaga lain, pada sisi lain ketentuan
perundang-undangan tidak memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, dalam
pembentukan hukum di masa mendatang harus independen yang melahirkan ketentuan
perundang-undangan yang demokratis, transparan, menjamin kepastian dan
persamaan hukum, serta penegakan yang profesional dan keterpaduan dalam
crimainal justice system.
·
Upaya penegakan hukum secara
profesional, pada saat ini masih diliputi banyak kendala akan rapuhnya sistem
peradilan. Selain sikap masyarakat yang permisif, rapuhnya sistem peradilan
selama ini disebabkan oleh moralitas elit politik dan metodologi
implementasinya dalam kebijakan politik yang riil, akibatnya proses peradilan
menjadi korup. Untuk itu di masa mendatang pengembangan sistem peradilan harus
merujuk pada spirit moralitas konstitusional, selaon itu diperlukan kematangan
konseptaual untuk bergerak dari teks ke konteks dengan pendekatan hermeneutik.
Ke depan, kepolisian, kejaksaan serta kehakiman perlu diposisikan sebagai
lembaga negara yang independen terpisah dari eksekutif. Kesimpulan Dan Rekomendasi Seminar
dan Temu Hukum Nasional IX Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan
Hak Asasi Manusia Tahun 2008 ini sangat terkait erat dengan aspek penemuan
hukum di era reformasi. Hal ini mengingat terjadinya perubahan yang cukup besar
dalam masyarakat dan berjalan demikian cepat sehingga peraturan
perundang-undangan yang tertulis selalu dalam posisi selangkah di belakang
perubahan tersebut. Karena itu hakim dituntut untuk lebih banyak berperan dalam
penemuan hukum dengan mempertimbangkan aspek-aspek non logikal dan non yuridis.
Namun penemuan hukum tersebut tidak akan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat
jika aparat penegak hukum tersebut tidak independen dan kurang profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar