Ini
adalah tulisan dari Tita Dewi. Aku sengaja membaginya pada anda, karena hatiku
bergetar keras setiap saat membaca tulisan ini. Meski sudah kubaca
berkali-kali, selalu saja hatiku menampakkan reaksi yang sama... bergetar keras
dengan skala yang tak pernah beda. Aku merasa, kaupun akan menikmati sensasi
seperti yang kurasakan, ketika membaca tulisan ini, terutama untuk anda yang
sudah jadi ibu. Semoga Alloh melimpahkan berkahNYA untuk Tita Dewi dan untuk
kita semua.
”Liaan... Apa lagi!!!”, melengking suara seorang wanita memanggil
anaknya, dan diteruskan dengan cacian-cacian, “Bodoh kamu!! Bego! Pake otak
kalo mau apa-apa!”
Aku yang baru tidur setelah adzan subuh karena harus lembur
menyelesaikan tulisan, mau tidak mau harus bangun, kulirik jam weker di atas
lemari, jam 7 kurang 15. Aku bergumam sedikit kesal, karena mataku masih terasa
berat sekali. Sementara caci maki ibu itu terus berlanjut. Tak lama terdengar
suara sang anak mengaduh, entah apa yang terjadi dan kemudian suasana sepi,
sepertinya anak itu pergi.
Kejadian
seperti ini hampir setiap pagi kudengar, meski tak selalu separah ini. Dan
hampir setiap hari itu pula hatiku miris mendengar apa yang diucapkan ibu itu
terhadap anaknya. Nyaris tak ada kalimat yang luput dari kata “Bodoh”, “Bego”,
”Kurang ajar” atau kata-kata kasar lainnya. Bahkan ibu itu pernah berkata mau
mencekik anak kandungnya itu. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan anak itu.
Hatinya pastilah sangat sakit. Ibu kandungnya sendiri, wanita yang
melahirkannya, wanita yang seharusnya berkata manis sayang saja menyebutnya
bodoh bahkan mau mencekiknya, meski mungkin itu hanyalah sebatas kata-kata.
Hatiku semakin miris ketika suatu saat aku pernah berada didepannya,
anak ini hanya bisa diam tertunduk ketika ibunya marah dan sesekali mengaduh
ketika cubitan atau sabetan mendarat di telinga atau kakinya, tanpa pernah ada
air mata mengalir di pipinya. Ekspresi wajahnya pun sama sekali tak menunjukkan
adanya amarah, ketakutan atau dendam, seringnya dia menggeloyor begitu saja
setelah dimaki-maki ibunya. Seperti tak ada lagi rasa di tubuhnya.
Yang terpikirkan olehku adalah, mungkin diwajahnya tak pernah
tercermin rasa sedih, mungkin di matanya tak pernah terpancar amarah, mungkin
juga dia tak mau merasakan sakit ketika cubitan atau sabetan mengikis kulit
arinya, tapi bagaimana dengan hatinya, akankah hatinya sekuat itu. Tidakkah ia
terlukai oleh kata-kata itu.
Dia masih anak-anak, sungguh masih belia. Usianya belum lagi 10
tahun. Space memori otaknya masih sangat besar untuk menampung berbagai
kenangan yang akan dia lalui. Bukankah sangat disayangkan jika ruang yang masih
bersih dan luas itu menjadi kotor dan penuh rasa sakit hati yang mungkin akan
meledak suatu hari nanti. Kata-kata jahat itu akan tertancap seperti paku, dan
itu benar. Setiap kata-kata itu tentu akan tertancap erat di dalam hatinya,
tersimpan rapat dalam almari-almari ingatannya.
Terngiang hingga nanti dia dewasa, kenapa? Karena dia masih
anak-anak.
Ada sebuah buku
yang menyebutkan bahwa karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh kenangan masa
kecilnya. Lalu karakter seperti apa yang akan terbentuk jika kenangan yang dia
miliki adalah kenangan akan cacian dan makian bahkan ancaman.
Saat mengucapkan kata “Bodoh!” pada anaknya, ibu itu mungkin tidak
menyadari bahwa dia telah memasukan doktrin bodoh pada diri anak yang mungkin sejatinya
adalah cerdas.
Anak ini bisa jadi menganggap dirinya tak mampu melakukan hal yang
benar, karena meski berusaha dia mungkin berfikir lagi-lagi ibunya akan
membodohkannya, ketika dia ingin mencoba mengungkap isi hati untuk membela
diri, kemungkinan besar dia akan urung karena takut akan ancaman ibunya. Atau
saat dia mencoba mengingatkan ibunya ketika ibunya mungkin berbuat salah dia
takut dikatakan kurang ajar.
Duhai Ibu,
kata-katamu adalah doa bagi anakmu, jadi mohon berhati-hatilah dengan ucapan kata.
Jika kau ucap dia anak yang bodoh mungkin dia akan menjadi benar-benar bodoh
meski dia cerdas, dan jika kau ucap dia pintar mungkin dia akan berusaha untuk
itu meski sebenarnya dia tak terlalu pintar.
Anak-anak memiliki hati yang halus, tentunya mereka sangat senang
jika disayang. Mereka pun manusia, sama seperti engkau yang memiliki hati dan
perasaan. Jika dengan kata-kata manis dan lembut mereka bisa dididik kenapa
harus memakai kata-kata yang kasar dan
menyakitkan hati.
Untuk
bidadari dan malaikat mungilku, Zidna Ilma dan Avesina Hummaam, doaku untuk
kalian, melebihi doaku untuk diriku sendiri. Kumohonkan pada ALLOH SWT agar
kalian dikaruniai keselamatan, kemuliaan, keberuntungan, kemakmuran serta
kesejahteraan dunia dan akherat. Sehat jasmani dan rohani. Bahagia lahir dan
batin. Ketenangan jiwa dan raga. Usia yang panjang dan manfaat. Ilmu yang
banyak dan berguna. Rezqi yang melimpah dan berfaedah. Sahabat-sahabat yang
setia dan tulus. Cerdas dan pandai, baik dan dermawan, sederhana dan bersahaja.
Menebar manfaat dan kebaikan dimanapun kalian berada. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar